Pages

Dinding laut Jakarta, perlukah?

ilustrasi (Thinkstock)

Pada akhir pekan lalu, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo mengumumkan bahwa suatu tim konsultan sedang bekerja merancang sebuah dinding laut raksasa (giant seawall) di Teluk Jakarta. Berbeda dengan tanggul biasa (dike/dyke) yang umumnya terbuat dari tumpukan tanah, dinding laut terbuat dari beton dan berbagai bahan sintetis lainnya.

Karena itulah, dinding laut akan mengubah sama sekali interaksi biota di sepanjang permukaannya sendiri serta perairan sepanjang pesisir – dengan lebih cepat.

Fauzi Bowo mengatakan, dinding itu perlu dibangun guna melindungi Jakarta dari kenaikan permukaan air laut akibat pemanasan global. Sekilas, argumen ini masuk akal. Tetapi apakah tidak ada jalan lain selain membentengi pesisir dengan dinding laut?

Apalagi argumen selanjutnya Fauzi juga terasa kurang masuk akal. Dinding laut itu, dikatakan, akan diintegrasikan dengan kepentingan Jakarta: menghadapi kemungkinan terjangan tsunami serta menampung air dari 13 sungai Jakarta (untuk diolah menjadi air baku).

Sepanjang pengetahuan saya, para ahli oseanografi dan geologi berpandangan bahwa Jakarta punya risiko kecil terhadap tsunami. Pantai dan perairan Republik Indonesia yang menghadap ke dalam relatif aman dari gempa bumi. Yang tidak aman adalah pantai yang menghadap ke luar, seperti pesisir barat dan utara Sumatra serta pesisir selatan Jawa.

Memang mungkin saja Gunung Krakatau meletus lagi dan mengirimkan gelombang tsunami, seperti di abad ke-19, tetapi letak teluk Jakarta sangat terlindung dari pancaran energi tersebut. Dan pencegahan dampak tsunami pun membutuhkan konstruksi lebih spesifik dari dinding laut, yakni pemecah gelombang.

Mengenai masalah air baku Jakarta? Itu punya konsekuensi yang luar biasa menyesatkan. Menampung air di teluk berarti memutus hubungan ketergantungan Jakarta dengan alam – dengan daerah hulu yaitu pegunungan di Jawa Barat.

Singapura memang bisa jadi contoh negara yang sukses menampung air dengan membangun dinding laut. Tapi contoh ini sungguh keterlaluan. Pertama, yang di Singapura itu kecil sekali. Kedua, yang lebih penting, Singapura memang tidak punya pilihan lain. Tidak punya kawasan hulu.

Apa yang dilakukan di Singapura adalah memperbaiki dirinya dengan membangun “alam buatan”. Tapi yang seharusnya dilakukan Jakarta adalah membangun kembali hubungan dengan alam yang kaya, antara lain dengan hulu, yang kini makin memburuk.

Tanpa menyadari ketergantungan kepada hulu, akan makin kecil motivasi kita untuk memperbaiki hulu dan keseluruhan alam. Dalam jangka panjang: bencana!

Jakarta itu bukan pulau, apalagi negeri sendiri, yang terlepas dari alam Republik Indonesia, bukan?


sumber
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...