Sebuah frase Inggris berbunyi, "you are what you eat." Frase ini memang awalnya datang dari kalangan ahli gizi, yang mengingatkan bahwa makanan seseorang memengaruhi kondisi kesehatannya. Tetapi seiring waktu, pengertiannya pun berkembang: konsumsi seseorang menentukan siapa dia.
Di Amerika Serikat, contohnya, orang-orang yang memakan ayam goreng dan burger cepat saji (junk food) kemungkinan besar adalah orang miskin perkotaan. Berbeda dengan Indonesia, yang justru menganggap junk food sebagai makanan kelas menengah ke atas.
Tetapi selain makanan, terdapat banyak hal lain yang menentukan siapa Anda. Misalnya gaya pakaian, merek mobil, merek telefon seluler, jenis gadget yang dipakai, hingga ke tempat tinggal.
Untuk urusan tempat tinggal ada cerita sendiri. Sebuah kompleks perumahan di pinggir Surabaya, memasang patung singa berdiri ala Merlion di Singapura, dengan skala 1:3 namun tanpa air muncrat dari mulutnya. Ini membuat saya bertanya-tanya, apakah memang konsumen kelas menengah atas kita begitu bodoh hingga memerlukan label "Singapura" yang murahan itu? Bukankah cara berjualan yang demikian justru memperlakukan para pembeli, seolah mereka memerlukan label yang tidak penting dan mengesampingkan rasio dalam memilih produk? Apa tidak terasa mengolok-olok?
Kombinasi barang dan jasa yang dikonsumsi orang kota akan membentuk gaya hidup pribadi sekaligus penghubung identitas mereka dengan kelompok sosial-ekonomi tertentu.
Padahal seharusnya, gaya hidup tidak ditentukan oleh faktor konsumsi semata, melainkan juga produksi. Tetapi produksi seperti apa yang cocok menjadi gaya hidup orang perkotaan?
Ketika seluruh kemanusiaan sedang berupaya keras berubah memasuki abad ekologi — dan persentase penduduk perkotaan meningkat tak terbalikkan — "produksi" yang penting jadi gaya hidup orang kota bukanlah uang. Melainkan produksi dalam pengertian merawat bumi.
sumber