Jika keledai tak terjerembab di lubang yang sama untuk kedua kalinya, maka apa artinya jika kita selalu terjebak dalam lubang subsidi BBM?
Pada bulan Maret 2012, Pemerintah dan Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat menyepakati kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi sebesar Rp1500 per liter. Total subsidi energi menjadi Rp 225 triliun, dengan Rp 137 triliun menjadi jatah BBM bersubsidi.
Sesudah keputusan tersebut muncul, Pemerintah pun melakukan pembatasan pada pemakaian BBM bersubsidi untuk kendaraan pribadi. Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (yang kini telah bubar) melarang kendaraan dengan kapasitas mesin di atas 2000 cc menggunakan bahan bakar bersubsidi, sementara kendaraan dengan cc di bawahnya masih bisa menggunakan premium.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan kebijakan membatasi kendaraan BUMN dan BUMD menggunakan BBM bersubsidi. Cara membatasinya? Hanya dengan menggunakan stiker. Sementara di lapangan, mobil Gubernur Banten Ratu Atut dan mobil polisi tertangkap foto masih memakai BBM bersubsidi.
Sisanya, rakyat biasa, sibuk mencari daftar mobil yang masih bisa menggunakan premium dan yang tak boleh menggunakan BBM bersubsidi. Seperti halnya isu kenaikan BBM sebelumnya, Pemerintah pun tampak plin-plan, tak ada kesinambungan komunikasi antara menteri satu dan lainnya, atau hitung-hitungan jelas soal alasan naiknya harga BBM.
Dunia sebenarnya sudah mulai meninggalkan subsidi bahan bakar, sesuatu yang sebenarnya harus dilakukan oleh Indonesia. Namun pemerintah tak pernah menyeluruh dalam menangani masalah pengurangan subsidi BBM. Masalah berlapis ini selalu saja diselesaikan dengan solusi instan, yaitu menaikkan harga. Sementara pemerintah tak membangun jaring pengaman yang dapat mendukung masyarakat saat subsidi dicabut.
Pada akhirnya, pemerintah berjanji bahwa pada 2013, harga BBM dipastikan tidak naik. Namun jangan kaget bila pemerintah berubah pikiran, karena toh rencana-rencana pencabutan subsidi BBM selama ini selalu saja mendadak, kok.
sumber