Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, Ali Mustafa Ya’qub, mempertanyakan illat pengambilan hak orang lain sebagai dasar pengharaman penyalahgunaan BBM bersubsidi. Pasalnya, kriteria dan batasan hak orang lain dalam bersubdisi belum jelas.
Padahal, menurut Ali Mustafa, sebuah fatwa harus didasari atas dasar hujjah dan alasan yang kuat. "Tidak serta merta mereka yang membeli BBM bersubsidi dianggap telah mengambil hak. Disini perlu kejelasan.”
Menurut Ali, semestinya pemerintah mensosialikan maksimal kebijakan pembatasan tersebut. Sosialiasi akan meberikan kejesalan tentang persentasi hak-hak dalam BBM bersubsidi. Jika tak disertai langkah itu, maka sebaiknya POM-POM yang ada tak perlu menjualnya secara umum. Cara ini akan lebih tepat untuk memberikan rambu-rambu itu. “Dibagi-bagi kan saja secara gratis.”
Majelis Ulama Indonesia (MUI) akan mengkaji kemungkinan dikeluarkannya fatwa haram penggunaan BBM bersubsidi oleh kalangan mampu. Pengkajian ini menyusul fakta yang muncul di lapangan terkait salah sasaran pada pemakaian subdisi tersebut. Hal ini disampaikan oleh Ketua MUI, Ma’ruf Amin. “Sekalipun belum ada permintaan. Kita tetap kaji.”
Meski demikian, kata Ma’ruf, pihaknya belum dapat memastikan kapan rencana pembahasan tersebut. Bahkan, bisa saja rencana tersebut batal dilakukan. Opsi tersebut mungkin terjadi jika indikasi illat haram kasus tersebut hilang. Ma’ruf menggarisbawahi hingga saat ini, MUI belum pernah secara resmi mengeluarkan fatwa haram penyalahgunaan BBM bersubsidi oleh masyarakat yang mampu.
Ma’ruf menegaskan pernyataan yang dilontarkannya usai bertemu Menteri ESDM Darwin Saleh di Jakarta, Senin (27/6) lalu murni pendapat pribadi, tidak mewakili instusi MUI. Pernyataan itu disampaikan secara spontan menanggapi pertanyaan sejumlah wartawan.
Dalam pernyataannya itu, Ma’ruf menyampaikan bahwa mereka yang mampu menggunakan BBM bersubsidi dianggap berdosa. Tindakan dosa itu karena yang bersangkutan mengambil hak orang lain yang lebih membutuhkan.
sumber