Hal buruk terjadi dalam hidup dan pastinya dalam cinta. Rasa sakit merupakan sebuah sinyal dan memberitahu kita kalau ada yang harus diperbaiki serta diperhatikan. Tanpa rasa sakit, bagaimana kita tahu kalau tubuh perawatan? Misalnya sakit perut, rasa sakit merupakan cara tubuh memberitahu untuk menjaga makanan yang masuk serta makan dengan teratur atau ada yang salah dengan perut kita (obviously).
Sakit secara emosional juga sama, merupakan cara tubuh memberitahu kalau kita perlu pertolongan. Saat hati kita sakit, dan mempengaruhi keseluruhan hidup kita, artinya waktunya untuk mengobati rasa sakit tersebut. Rasa sakit juga menjadi panduan seperti kompas. Memberitahu bagian mana yang nggak sehat atau merasakan hal yang nggak benar. Yang penting adalah harus jeli mendengarkan “teriakan” atau peringatan yang diberikan tubuh.
Sebagai “korban”, kita sering nggak mendengarkan rasa sakit. Tapi kalau kita berperan sebagai pihak yang bertahan atau survivor, kurang lebih kita seperti membuka diri terhadap rasa sakit tersebut. Kita belajar dari rasa sakit tersebut dan berkembang, serta bertahan.
Melawan rasa sakit membuat kita nggak bisa menerimanya sebagai berkah. Memang bungkusannya nggak menyenangkan, tapi kalau kita beranikan diri untuk membuka bungkusan tersebut, kita bisa mendapatkan ketenangan, pengetahuan lebih akan diri sendiri yang bisa membuat kita lebih tenang dan percaya diri untuk menghadapi apa yang terjadi di masa depan.
Hanya dengan membuka diri pada berbagai emosi, kita bisa mengerti siapa diri kita, kenapa rasa sakit ini bisa muncul dan apa yang kita perlukan untuk membebaskan diri dari rasa sakit tersebut. Caranya dimulai dengan mengamini bahwa ada sisi positif dari setiap kejadian negatif yang terjadi pada kita.
Menjadi survivor memang nggak gampang dan memang lebih mudah untuk menjadi korban dan menangis meratapi nasib. Tapi kalau kamu pengen bangkit, mengatasi rasa sakit dan kesedihan banyak cara yang bisa kamu lakukan.
Coba pikirkan satu waktu dimana kamu merasakan sakit hati yang hebat. Bisa baru-baru saja atau kejadian yang sudah lama terjadi. Ingat-ingat reaksimu atas pengalaman tersebut, apa yang kamu lakukan untuk mengatasinya dan bagaimana hal itu membuat kamu lebih kuat. Waktu itu bisa, pastinya sekarang juga bisa, kan?
Cari tempat sepi yang bisa memberikan ketenangan untukmu dan sisihkan waktu untuk perasaanmu. Bawa tisu, jurnal, secangkir teh apa pun yang bisa bikin kamu lebih tenang. Tutup matamu dan “nikmati” rasa sakit yang ada. Tolak segala keinginan yang bisa mengalihkan pikiran. Terima kalau saat ini, memang waktumu untuk merasakan rasa sakit tersebut, sesakit apa pun itu.
Bagi apa yang kamu rasakan, pada sahabat, saudara, atau bahkan terapis. Sharing bisa menunjukkan kalau kamu nggak sendiri, walaupun kamu merasa sebagai orang yang paling sendiri di dunia. Berbagi juga bisa jadi salah satu cara untuk melepaskan rasa sakit yang ada.
Sisihkan waktu setiap hari untuk mengobati luka. Cari kesenangan yang bisa membuatmu kalau banyak hal baik ada di depan mata. Rutinitas juga penting. Jadi lakukan hal mudah yang sekaligus bisa mengobati dan menjadi rutinitas, seperti bersepeda, mendengarkan musik, mengurus tanaman atau yoga.
Faktanya, istilah waktu bisa menyembuhkan lupa itu bisa dibilang sebagai sebuah hal yang nggak nyata. Karena kalau memang bisa, nggak bakal ada yang namanya rasa sakit. Untuk lupa atau sembuh memang butuh waktu, tapi tanpa usaha kamu akan bangun pagi setiap hari merasakan sakit yang sama. Teori memang lebih mudah dibanding praktek. Tapi dengan percaya dan yakin, pasti kamu akan bisa melalui dan mengatasi segala rasa sakit yang menimpa.
sumber